Senin, 21 April 2008

Ingus Keluar Tanda Pertahanan Tubuh Bekerja

Siapa yang senang jika ingus terus-terusan keluar dari hidungnya? Apalagi ditambah sakit tenggorokan, deman, bersin-bersin dan mata berair? Itu tidak menyenangkan bukan?

Pilek merupakan penyakit yang paling sering dijumpai dengan penyebaran yang luas. Penyakit ini merupakan gejala suatu penyakit atau karena respon alergi.

Pilek dapat disebabkan adanya infeksi dari virus atau bakteri. Jika disebabkan infeksi maka pilek merupakan gejala awal yang menyertai penyakit tersebut. Penyebab lain karena reaksi alergi dari alergen (debu, serat, bulu binatang dll) dengan zat pertahanan tubuh menyebabkan terlepasnya zat mediator. Reaksi ini mengakibatkan pembengkakan selaput lendir hidung yang ditandai seperti hidung tersumbat, meningkatnya sekresi lendir dan bersin-bersin.

Pengobatan dapat digunakan dekongestan nasal (ephedrine, pseudoephedrin) untuk mengurangi sumbatan dan keluarnya cairan nasal (rongga hidung), anti histamin (CTM) yang mampu mengusir histamin (mediator yang dilepas tubuh saat terjadi reaksi alergi) sehingga kerja histamin ditiadakan, atau dengan analgetika yang dalam dosis terapeutik dapat meringankan atau menekan rasa nyeri.

Beberapa cara untuk meghindari terkena pilek antara lain:
1. jangan memeluk atau berdekatan dengan penderita pilek karena penyakit ini mudah menular
2. jauhkan diri dari orang yang bersin-bersin karena pilek dan batuk karena virus dapat menyebar dari bersin tersebut
3. jaga tubuh tetap dalam keadaan kering, hindari lembab atau berbasah-basah, jika baju basah karena keringat segera ganti dengan baju yang kering
4. jangan dibiasakan terlalu cepat mendinginkan badan setelah banyak berkeringat, terutama jika udara dingin

Pada dasarnya tidak ada obat yang dapat menyembuhkan pilek. Jika ingus terus keluar menandakan pertahanan tubuh sedang bekerja.

Jumat, 18 April 2008

Kenali Batuknya Pilih Obatnya

Batuk merupakan refleks tubuh karena adanya benda asing yang mengganggu saluran pernafasan. Batuk juga dapat diakibatkan adanya infeksi atau iritasi. Refeks batuk terjadi untuk mengeluarkan dan membersihkan benda asing dari saluran pernafasan, dapat juga diakibatkan adanya rangsang mekanis dan kimia (asap, debu, gas dan bau), gangguan cuaca serta suhu dingin.

Penyakit batuk umumnya disebabkan radang pada saluran pernafasan atas karena adanya infeksi virus atau peningkatan mukus selama menderita selesma. Untuk itu batuk perlu segera ditanggani sebelum timbul penyakit yang lain. Pada batuk yang merupakan gejala penyakit selesma atau influenza maka pengobatan lebih untuk menekan gejala penyakit yang timbul.

Pemilihan cara penanganan batuk tergantung pada jenisnya. Batuk berdahak penanganannya menggunakan obat-obat golongan ekspektoran (Gliseril guaiakolat, Bromheksin) untuk meluruhkan dahak sehingga mudah dikeluarkan. Sedangkan batuk kering/tidak berdahak dipilih golongan obat antitusif (Dekstrometorfan HBr) yang dapat mengentikan rangsang batuk, menurunkan frekuensi dan intensitas batuk. Pengenalan akan jenis batuk akan membantu dalam pemiliha obat yang tepat.

Penggunaan obat tersebut juga dapat disertai dengan analgesik (mengurangi rasa nyeri), antiinflamasi (antiradang) dan antiseptik (pembunuh kuman). Dalam pengobatan rasional antibiotik hanya diberikan jika batuk yang terjadi ada tumpangan bakteri. Jika batuk tidak disebabkan oleh infeksi bakteri, maka penggunaan antibiotik tidak dibutuhkan. Kebanyakan batuk disebabkan oleh virus dan bersifat bersifat self-limiting (sembuh dengan sendirinya).

Selain penggunaan obat sintesis tersebut juga dilakukan beberapa cara supaya batuk tidak semakin memburuk seperti:
1. memberikan minuman hangat yang dapat menyamankan tenggorokan dan memancing keluarnya dahak
2. menghangatkan bagian dada dan leher dengan minyak kayu putih, balsam atau penghangat lain
3. hindari pemberian minuman dingin dan makanan yang dapat merangsang batuk
4. jauhi rangsang mekanis maupun kimiawi yang dapat menimbulkan respon batuk
5. usahakan agar ruangan tetap lembab

Cara terbaik mencegah penyakit adalah dengan menerapkan pola hidup sehat.

Rabu, 16 April 2008

Demam, Tangani Anaknya Bukan Termometernya

Demam merupakan salah satu tanda adanya mekanisme pertahanan tubuh untuk melawan peradangan atau infeksi. Dalam keadaan demam, pernafasan menjadi lebih cepat sehingga lebih banyak oksigen yang beredar dalam pembuluh darah. Denyut jantung juga bertambah cepat karena memompa banyak darah.

Infeksi ringan tidak menyebabkan demam dan jika timbul demam biasanya sembuh dalam 1 atau 2 hari. Suhu tubuh di atas 380C menunjukkan adanya infeksi yang lebih berat.


Demam terjadi akibat tubuh terpapar infeksi mikroorganisme. Dapat juga diakibatkan faktor non-infeksi seperti kompleks imun atau inflamasi (peradangan). Virus atau bakteri yang masuk ke dalam tubuh menyebabkan leukosit (sel darah putih) melepaskan pirogen endogen (zat penyebab demam) yang selanjutnya memicu produksi prostaglandin E2 yang meningkatkan nilai-ambang temperatur dan terjadilah demam.

Orang-orang yang sedang demam akan merasa haus akibat pengeluaran keringat yang banyak karena suhu tubuh yang tinggi. Dianjurkan penderita banyak minum untuk mengganti cairan tubuh yang hilang.

Bila suhu terlalu tinggi maka dapat digunakan beberapa jenis obat seperti parasetamol, aspirin dan obat-obat anti inflamasi non steroid (AINS) seperti ibuprofen. Terapi supportif juga dapat dilakukan seperti:
1. banyak istirahat
2. banyak minum air putih
3. gunakan air panas untuk mengkompres dan meredakan rasa sakit
4. kenakan pakaian tipis pada ruangan yang baik ventilasinya.

Kini demam dianggap sebagai respon ’sehat’ terhadap penyakit. Upaya penanganan demam bukanlah priorotas utama. Penanganan utama adalah dengan mengidentifikasi penyebab terjadinya demam. Dengan demikian penangan terhadap penyakit dapat lebih mudah dilakukan.

Penanganan terhadap penyakit deman tidak semata-mata dengan memberikan obat penurun demam. Usaha penanganan demam lebih ditunjukkan pada pengatasan ketidaknyamanan anak, menekankan pada upaya mencari penyebab dan memprioritaskan pengobatan esensial saja. Hal ini untuk menciptakan layanan kesehatan yang lebih efisien.

Senin, 14 April 2008

Vitamin C Dosis Tinggi Terbukti Tidak Efektif

Tanpa kita sadari, produk-produk nutraceutical atau suplemen makanan sebenarnya sangat dekat dan sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Namun tidak jarang kita acuh dan menganggap produk tersebut sebagai makanan atau minuman belaka. Padahal produk nutraceutical tidak sekedar makanan atau minuman.

Menurut surat keputusan BPOM No. HK.00.05.23.3644 tentang Ketentuan Pokok Pengawasan Suplemen Makanan, mendefinisikan supleman makanan sebagai produk yang dimaksudkan untuk melengkapi kebutuhan zat gizi makanan, mengandung satu atau lebih bahan berupa vitamin, mineral, asam amino, atau bahan lain (berasal dari tumbuhan atau bukan tumbuhan) yang mempunyai nilai gizi atau efek fisiologi dalam jumlah terkonsentrasi.

Salah satu nutraceutical yang sering digunakan masyarakat adalah produk yang mengandung vitamin C. Namun apakah pemilihan dosis yang digunakan selama ini telah sesuai dengan kebutuhan harian tubuh? Hal ini perlu dilihat kembali mengingat maraknya vitamin C dosis tinggi (mega dosis) yang beredar di pasaran.

Vitamin C sering digunakan untuk pengobatan berbagai penyakit yang tidak ada hubungannya dengan defisiensi vitamin C dan diberikan dalam jumlah besar. Akan tetapi ternyata efektivitasnya tidak jelas atau tidak terbukti. Peran terapeutik vitamin C sangat kecil dan hanya untuk beberapa indikasi yang disebutkan berlaku bagi vitamin C kerjanya benar-benar ada. Vitamin C juga terbukti tidak bermanfaat untuk kanker lanjut. Selain itu penggunaan mega dosis tidak terbukti efektif untuk aterosklerosis, penyembuhan luka dan skizofrenia.

Pemberian pada keadaan normal tidak menunjukkan efek farmakodinamik yang jelas. Tetapi pada keadaan defisiensi, pemberiannya akan menghilangkan gejala penyakit dengan cepat. Gejala awal hipovitaminosis C adalah malaise, mudah tersinggung, gangguan emosi, artralgia, hiperkeratosis folikel rambut, pendarahan pada hidung dan petekie. Hipovitaninosis C dapat terjadi karena konsumsi makanan yang salah dan absorpsi yang kurang karena sirosis hati.

AKG vitamin C adalah 35 mg untuk bayi dan kira-kira 60 mg pada dewasa. Kebutuhan ini akan meningkat pada aktivitas tubuh yang berat, tumor, penyinaran dengan sinar Rontgen, penyakit infeksi, penyakit metabolisme, serta selama kehamilan dan menyusui. Kebutuhan ini tidak akan melampaui 300 mg/hari. Karena itu penggunaan sebanyak 1000 mg/hari terlalu berlebih.

Penggunaan vitamin C mega dosis (>1000mg/hari) dapat menyebabkan diare. Selain itu, penggunaan mega dosis dapat meningkatkan bahaya batu ginjal karena sebagian vitamin C dimetabolisme dan diekskresi sebagai oksalat.

Vitamin C dosis tinggi yang digunakan secara parenteral (tidak melalui saluran pencernaan) dapat menyebabkan oksalosis yang meluas, aritmia jantung dan kerusakan ginjal berat. Kegagalan penggunaan kontrasepsi oral yang mengandung etinil estradiol juga dilaporkan akibat penggunaan dosis besar.

Maka dalam penggunaan harian vitamin C, alangkah baiknya jika kita bijak dalam memilih dosis. Apakah tubuh kita memerlukan asupan berlebih atau cukup dalam dosis normal kebutuhan harian tubuh?

CTM-Antihistamin Pemicu Kantuk

Chlorpheniramin maleat atau lebih dikenal dengan CTM merupakan salah satu antihistaminika yang memiliki efek sedative (menimbulkan rasa kantuk). Namun, dalam penggunaannya di masyarakat lebih sering sebagai obat tidur dibanding antihistamin sendiri. Keberadaanya sebagai obat tunggal maupun campuran dalam obat sakit kepala maupun influenza lebih ditujukan untuk rasa kantuk yang ditimbulkan sehingga pengguna dapat beristirahat.

CTM memiliki indeks terapetik (batas keamanan) cukup besar dengan efek samping dan toksisitas relatif rendah. Untuk itu sangat perlu diketahui mekanisme aksi dari CTM sehingga dapat menimbulkan efek antihistamin dalam tubuh manusia.

Menurut Dinamika Obat (ITB,1991), CTM merupakan salah satu antihistaminika H1 (AH1) yang mampu mengusir histamin secara kompetitif dari reseptornya (reseptor H1) dan dengan demikian mampu meniadakan kerja histamin.

Di dalam tubuh adanya stimulasi reseptor H1 dapat menimbulkan vasokontriksi pembuluh-pembuluh yang lebih besar, kontraksi otot (bronkus, usus, uterus), kontraksi sel-sel endotel dan kenaikan aliran limfe. Jika histamin mencapai kulit misal pada gigitan serangga, maka terjadi pemerahan disertai rasa nyeri akibat pelebaran kapiler atau terjadi pembengkakan yang gatal akibat kenaikan tekanan pada kapiler. Histamin memegang peran utama pada proses peradangan dan pada sistem imun.

CTM sebagai AH1 menghambat efek histamin pada pembuluh darah, bronkus dan bermacam-macam otot polos. AH1 juga bermanfaat untuk mengobati reaksi hipersensitivitas dan keadaan lain yang disertai pelepasan histamin endogen berlebih. Dalam Farmakologi dan Terapi edisi IV (FK-UI,1995) disebutkan bahwa histamin endogen bersumber dari daging dan bakteri dalam lumen usus atau kolon yang membentuk histamin dari histidin.

Dosis terapi AH1 umumnya menyebabkan penghambatan sistem saraf pusat dengan gejala seperti kantuk, berkurangnya kewaspadaan dan waktu reaksi yang lambat. Efek samping ini menguntungkan bagi pasien yang memerlukan istirahat namun dirasa menggangu bagi mereka yang dituntut melakukan pekerjaan dengan kewaspadaan tinggi. Oleh sebab itu, pengguna CTM atau obat yang mengandung CTM dilarang mengendarai kendaraan.

Jadi sebenarnya rasa kantuk yang ditimbulkan setelah penggunaan CTM merupakan efek samping dari obat tersebut. Sedangkan indikasi CTM adalah sebagai antihistamin yang menghambat pengikatan histamin pada resaptor histamin.